Semua Ini Kulakukan Untukmu!
Oleh: Gladys Mary Talbot
Beberapa ratus tahun yang lalu, sebuah kisah indah telah lahir di sebuah studio seorang pelukis di Dusseldorf, di Jerman. Tetapi kisah ini hanya bisa diceritakan permulaannya, dan tidak bisa diceritakan akhirnya, sebab ternyata sampai sekarangpun kisah ini belum berakhir.
Pada suatu hari, seorang biarawan menaiki tangga dari sebuah bangunan tua dan mengetuk-ngetuk pintunya. Ia datang untuk menemui Stenburg, seorang pelukis yang pada saat itu terkenal dapat melukis dengan bagus sekali.
"Barangkali Anda sudah mendengar bahwa kami sedang memugar gereja St. Jerome? Nah, kami akan minta bantuan Anda untuk membuat sebuah lukisan untuk bagian altar".
Stenburg terdiam sebentar, sambil menimbang-nimbang, akhirnya berkata: "Baiklah Bapak Pendeta, saya akan membuatnya. Yang pantas untuk dipasang di bagian altar saya rasa tentunya adalah lukisan tentang penyaliban. Lukisan demikian tidaklah mudah, sebab sudah ada begitu banyak. Tetapi saya akan mencobanya, asal Bapak memberi saya cukup waktu."
Dan begitulah kata sepakat dicapai, dan Bapak Pendeta kembali menuruni tangga dari gedung tua itu dengan hati riang gembira.
Sejak itu mulailah Stenburg berkelana di daerah Yahudi di kota itu untuk mencari seseorang yang dapat dijadikan model untuk lukisannya. Tangannya yang dikaruniai keahlian luar biasa itu mulai menggerak-gerakkan kuas pada kanvas dan mulailah pelan-pelan terwujud sebuah lukisan yang mengagumkan sekali. Pak Pendeta yang dari waktu ke waktu datang meninjau perkembangan dari lukisan itu tidak kikir dengan pujian-pujiannya.
Beberapa bulan telah lewat, dan musim semi mulai tiba. Gunung-gunung menjadi hijau kembali, padang-padang mulai ditumbuhi bunga-bunga, dan bau harum dari pohon buah yang berbunga tercium dimana-mana.
Jiwa seni dari si pelukis mulai bergejolak, maka untuk sementara diletakkannya kuasnya dan mulailah ia mengarungi lembah-lembah dan bukit, sambil mengepit sebuah buku skesa di lengannya.
Pada suatu hari, ditepi sebuah hutan, ia menemukan seorang gadis gypsy sedang sibuk menganyam keranjang. Ia kelihatannya masih remaja sekali, tetapi gaun merah yang sudah hampir luntur dan tidak utuh lagi itu tidak menyembunyikan bahwa ia adalah seorang yang cantik. Hati Stenburg bergetar, jiwa seninya mulai bergejolak di dalam dia.
"Gadis ini akan menjadi model yang baik sekali," demikian pikir Stenburg.
Kehadiran seseorang di dekatnya membuat gadis itu berhenti menganyam dan mengangkat matanya. Pada detik berikutnya diletakkannya pekerjaan tangannya, lalu melompat berdiri, dengan mata yang bersinar dalam kegirangan, tubuhnya berayun, dan kakinya bergerak secara ritmis dalam suatu tarian gypsy.
Dengan cepat Stenburg membuka buku sketsanya.
"Berdirilah sebagaimana kau ada sekarang," serunya. "Jangan bergerak, sampai kukatakan engkau boleh bergerak."
Seketika gerakan gadis itu berhenti dan berdirilah ia diam dalam suatu pose yang indah. Ia rupanya mengerti apa yang dikehendaki dari dia dan Stenburg berkata kepada dirinya sendiri, "Anak itu bukan saja cantik, tapi ia adalah seorang model yang wajar. Aku akan melukisnya sebagai seorang gadis penari Spanyol."
Dibuatnya perjanjian bahwa ia harus datang selama beberapa hari ke studionya, sampai lukisannya itu dapat diselesaikan.
Pada waktu yang dijanjikan tibalah gadis itu di studio. Tanpa canggung-canggung ia menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam studio itu menarik perhatiannya, dan pandangannya mengikuti semua yang ada dalam studio itu bahkan sampai ke ujung yang terjauh.
Tiba-tiba pandangannya terikat pada sebuah lukisan tentang penyaliban, yang pada waktu itu hampir mencapai taraf penyelesaian. Sementara ia mengawasi dengan cermat, ia berkata dengan suara tertahan, "Siapakah orang itu?" sementara jarinya menunjuk ke lukisan dari Yesus yang tersalib.
"Kristus", jawab pelukis itu acuh tak acuh.
"Ia sedang diapakan?"
"Disalib", jawab Stenburg dengan singkat.
"Siapakah orang-orang yang ada di sekitarnya, yang kelihatannya kejam-kejam itu?"
Stanburg menjadi jengkel. "Untuk apa engkau menanyakan begitu jauh?" katanya dengan kasar. "Bagaimana aku bisa menyelesaikan pekerjaan ini, kalau aku harus terus menerus menjawab pertanyaanmu?" Dan anak itu tidak berani bertanya lagi kepadanya. Tetapi lukisan itu telah masuk ke dalam hatinya sebagai sesuatu yang hidup.
Hari berikutnya ia datang lebih pagi dari semestinya, sebelum Stenburg tiba di studio. Kembali ia terpaku di depan lukisan itu yang telah memasuki seluruh kalbunya. Dan begitulah tiap hari selalu dicarinya kesempatan untuk menatap gambar itu, walaupun sejenak.
Pada suatu hari si pelukis rupanya sedang dalam keadaan yang gembira dan ramah maka si gadis sekali lagi memberanikan diri untuk bertanya, "Mengapa Ia disalibkan? Apakah Ia jahat?"
"Tidak, Ia orang baik," jawab pelukis dengan tak sabar. Sekali lagi gadis gypsy ini mempunyai sesuatu untuk direnungkan.
Akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi. "Kalau Ia baik, mengapa Ia dibunuh?"
Dengan putus asa Stenburg meletakkan kuasnya, dan bergata kepada gadis itu.
"Sini-sini, engkau duduk di sini, aku akan menceritakan kisah itu sekali ini saja. Akan kuceritakan keseluruhannya, tetapi engkau harus berjanji untuk tidak akan bertanya-tanya soal lukisan itu lagi, setuju?"
Gadis itu mengangguk. Dan mulailah diceritakan suatu cerita yang tidak pernah usang. Suatu cerita yang tiap hari, entah dimana di muka bumi ini, selalu diceritakan orang, yaitu cerita tentang "Salib Golgota".
Sebelumnya, gadis itu belum pernah mendengar kisah itu. Didengarnya dengan penuh perhatian sampai hampir-hampir ia tidak bernafas; sementara itu matanya mulai berkaca-kaca dengan air mata yang belum metetes.
Lukisan penari Spanyol itu akhirnya selesai. Dan inilah hari terakhir ia mengunjungi studio. Dengan hati yang pilu ia mengucapkan selamat tinggal pada lukisan yang mulai dikasihinya itu. Hampir-hampir tidak diperhatikannya lagi waktu si pelukis memasukkan segulungan uang ke tangannya, tetapi sambil memandang dia dengan mata yang sayu dan bibir gemetar ia berkata, "Selamat tinggal, tuan. Tuan tentu mengasihi Dia. Tuan tentu mengasihi Dia lebih dari apapun di dunia ini, karena apa yang Ia telah lakukan untuk tuan."
Stenburg memandangi anak itu dengan terkejut. Ia merasa malu dan gelisah, sebab perkataan gadis itu telah merobek kedok kemunafikannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari seorang yang berpura-pura saja.
Hari lewat hari, waktu berjalan terus. Tetapi bagaimanapun ia menyibukkan diri, ia tidak dapat melupakan peristiwa itu. Kata-kata gadis itu terus menggema dalam alam pendengarannya.
"Tuan tentu mengasihi Dia lebih dari apapun di dunia ini, karena apa yang Ia telah lakukan untuk tuan."
Ia merasa sedikit terhibur ada waktu lukisan altar itu selesai dan dibawa pergi. Tetapi lama kemudian hatinya gelisah kembali. Semua kesenangan rupanya telah hilang dari hidupnya. Ia memerlukan sesuatu. Tetapi apakah itu?
Pada suatu hari didesas-desuskan bahwa ada suatu kebaktian istimewa yang diadakan di suatu gereja kecil di pinggir kota. Stenburg berpikir barangkali di situ ia bias mendapatkan sedikit kedamaian, maka diam-diam dicarinya tempat yang disebut itu. Dan di sanalah ia memberikan hatinya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Langsung damai Allah memenuhi hatinya, seperti yang belum pernah diimpikan sebelumnya. Segala kecemasan dan kegelisan hatinya hilang dan sesuatu telah masuk ke dalam hatinya. Apa? Kasih. Sekarang ia baru mengerti apa artinya mengasihi Yesus itu.
Pikirannya mulai aktif lagi. Ia berpikir, kasih itu harus ada wujudnya. Tetapi apa yang akan ia lakukan? Ia sama sekali tidak fasih berbicara. Ia berdoa dan minta supaya Tuhan menunjukkan apa yang harus dilakukannya. Pada suatu hari sebuah rencana melintas pada pikirannya :
"Aku tidak dapat menunjukkan kasih Allah melalui perkataan, tetapi dengan pertolonganNya aku dapat melukisnya."
"Wajah Kristus di atas salib yang ia lukis untuk gereja St. Jerome adalah penuh penderitaan; tetapi wajah yang akan ia lukis sekarang harus penuh dengan kasih.
Ilham, kerinduan, dan kasih berkobar bersama-sama dalam dirinya, membakar keahlian yang memang sudah dimilikinya itu, dan menjadikannya seratus kali lebih hebat. Lukisan itu hanya menggambarkan kepala dan bahu Yesus, dengan mahkota duri di atas dahinya, kelihatannya sangat indah, agung dan hidup.
Tetapi yang memukau setiap orang yang memandanginya ialah mataNya. Penuh kasih, dan belas kasihan, dan kelihatannya kalau tangan manusia semata-mata, tidak akan mampu menghasilkan karya yang begitu luar biasa.
Stenburg tidak mau menjual lukisan itu, tetapi disumbangkannya pada pemerintah kota Dusseldorf, yang menggantungkannya di sebuah balai seni lukis. Di bawahnya terdapat tulisan: "Ini semua Kulakukan untukmu. Apa yang kau lakukan untukKu?"
Beribu-ribu orang telah berdiri di depan lukisan ini dengan meneteskan air mata. Seringkali, Stenburg diam-diam datang ke balai itu dan dari sudut yang jauh memandangi orang-orang yang berdiri di depan lukisan itu. Sementara itu ia berdoa agar Tuhan berbicara kepada mereka melalui lukisan itu.
Pada suatu hari, sementara ia disitu, seorang gadis muda memasuki balai itu. Ia langsung menempatkan diri di depan lukisan itu. Dan si pelukis dapat melihat dari kejauhan bahwa ia menangis. Gadis itu berdiri begitu lama sehingga ia menghampirinya untuk berbicara dengan dia. Setelah ia menoleh, baru si pelukis mengenali bahwa ialah gadis yang telah berpose untuknya.
"Saya sering dating kemari untuk melihat Dia", gadis itu menjelaskan dengan bibir yang gemetar. "Oh, kalau saja Ia juga mencintai saya, sedangkan saya ini hanya seorang gypsy."
"Maafkan saya! O, maafkan saya, bahwa saya tidak memberitahukan kepadamu", kata Stenburg dengan rendah hati.
Dan dengan mata terheran-heran, gadis itu mendengarkan sekali lagi "Kisah tentang Salib" itu, yang jangkauannya tidak mengenal batas bangsa dan suku bangsa. Dan di situ, di balai seni lukis, gadis gypsy itu menyerahkan hatinya kepada Sang Juruslamat.
Tahun berganti tahun. Setiap tahun menambah lagi jumlah orang-orang yang menemukan Kristus melalui lukisan Stenburg. Lalu pada suatu hari, seorang bangsawan muda memasuki balai itu dan berdiri di depan lukisan itu dengan menangis terisak-isak. Ia adalah seorang Kristen, namun ia menganggap terlalu ringan korban Kristus dan kasihNya. Lukisan itu, dan kata-kata di bawahnya telah tenggelam di dalam lubuk hatinya. "Ini semua Kulakukan untukmu; apa yang kau lakukan untukKu?" Ia menerahkan hidupnya, dan seluruh kekayaannya di kaki Anak Allah. Orang ini adalah Count Zinzendorf, pendiri dari Misi Moravia yang terkenal itu.
Lukisan Stenburg sekarang sudah tidak ada lagi. Hangus saat balai seni lukis itu terbakar. Tetapi kisah kasihNya tidak terhenti di sini, pengaruh dari lukisan itu hidup terus selamanya. Bahkan sampai hari ini, hari dimana anda membaca tulisan ini... Friends! Pertanyaan yang sama dalam cerita diatas kembali bertanya kepada kita INI YANG SUDAH KULAKUKAN UNTUKMU, APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN UNTUKKU?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar